Jambore Bidikmisi Universitas Negeri Semarang - Catatan Sang Bidikmisi ke-13





Kembali ke tahun 2011, tepatnya pada tanggal 6 sampai 8 April 2011.  Diumumkan kepada seluruh mahasiswa bidikmisi Unnes diwajibkan untuk mengikuti acara jambore. Aku pun tak dapat mengelak darinya, aku wajib mengikutinya. Kegiatan itu dilaksanakan mulai hari jum’at pagi sampai minggu siang. Kegiatan itu juga bertepatan dengan hari libur dan memang adalah waktunya untuk istirahat di tengah-tengah kesibukan kuliah. Tetapi aku sebagai penerima bidikmisi harus mengikutinya untuk memenuhi kewajibanku. Telah tertulis di kontrak bidikmisi yang telah aku tanda tangani, aku bersedia mengikuti kegiatan-kegiatan yang diwajibkan oleh kampusku. Agar beasiswa yang diberikan padaku tetap diberikan hingga aku lulus kuliah.
Sebelum acara jambore berlangsung, aku diberi tahu oleh pengurus BSC (Bidikmisi Scholarship Comunity), bahwa nanti saat jambore ada salah satu bagian acara berupa malam inagurasi atau pentas seni. Setiap fakultas diwajibkan menampilkan minimal satu penampilan. Aku sebagai ketua bidikmisi di fakultas ekonomi diminta untuk mempersiapkan perwakilan dari fakultasku. Hari berikutnya, aku pun seketika langsung mengumpulkan anak-anak bidikmisi FE. Aku sampaikan tentang informasi-informasi terkait jambore yang akan segera dilaksanakan. Termasuk tentang pentas seni yang diwajibkan untuk setiap fakultas. Setiap fakultas harus minimal ada satu penampilan dalam pentas seninya. Setelah aku tanya para mahasiswa bidikmisi FE, aku cukup sedih karena hanya ada satu nama yang ingin tampil. Eka Ariyanti Yunita yang ingin tampil bernyanyi. Cuma itu, tak ada yang lain yang mengajukan diri untuk tampil. Tetapi alhamdulillah masih ada yang ingin tampil fikirku, daripada tak ada sama sekali.
Hari berikutnya pelaksanaan jambore semakin dekat, aku diberi masukan oleh sekretaris IMBISI FE, Raeni. Seorang mahasiswi yang terkenal sangat pintar, yang beberapa kali mendapat IP sempurna 4,0. Dia memberiku usul bagaimana kalau dari FE menampilkan sebuah drama. Aku senang mendengarnya, tapi juga khawatir tidak akan bisa. Karena waktu yang sudah tinggal beberapa hari lagi. Ya, memang pemberitahuan tentang malam inagurasi itu sangat mendadak sekali. Aku berfikir, tak mungkin mempersiapkan drama secepat itu. Lagi pula bukan bakat anak ekonomi untuk bermain drama.
Hari selanjutnya aku kumpulkan seluruh koordinator prodi bidikmisi di FE. Mereka adalah orang yang menjadi penanggung jawab dari mahasiswa bidikmisi FE dari setiap program studinya. Mereka yang senantiasa membantuku menyebarkan informasi kepada seluruh mahasiswa bidikmisi di FE. Aku rapatkan bersama dengan mereka, tentang apa yang akan bidikmisi FE tampilkan nanti pada saat inagurasi. Selain itu aku juga mengundang para mahasiswa bidikmisi FE yang aku aku lihat punya bakat di bidang musik serta beberapa mahasiswa bidikmisi lainnya.
Rapat pun dimulai, aku sampaikan kegelisahanku karena sampai saat itu belum ada persiapan untuk pentas seninya. Aku usulkan bagaimana kalau menampilkan sebuah band, itu mungkin lebih mudah dalam waktu singkat. Tetapi kelihatan dari para peserta rapat saat itu masih ragu. Hal itu karena waktu yang memang sangat mendesak. Tiba-tiba datang sebuah usul dari salah seolah mahasiswi. Dia adalah Lia, salah satu mahasiswi program studi Administrasi Perkantoran sama sepertiku. Lia memberiku usul,
“Bagaimana kalau kita nampilin sebuah drama, aku punya kenalan seorang pelatih drama yang siap melatih kita”.
Usul dari Lia itu memberikan harapan untuk sumbangan penampilan pentas seni dari FE. Semua peserta rapat setuju, setelah itu kami langsung menghubungi pelatih yang Lia usulkan. Kami sepakat, pada malam hari itu juga aku usulkan untuk latihan drama. Hal itu karena waktu yang sudah sangat mendesak, dua hari sebelum acara jambore. Teman-teman para koordinator pun setuju. Aku infokan ke seluruh anak bidikmisi FE yang ingin ikut meramaikan penampilan dari FE dalam sebuah drama untuk datang ke joglo FE pukul 18.00. Siapapun boleh ikut tanpa terkecuali.
Mentari telah terbenam, aku berangkat lebih awal ke Joglo Fakultas Ekonomi. Aku duduk termenung sendirian di Joglo sambil menatap langit, menunggu teman-temanku yang aku harapkan bisa meramaikan latihan dramanya. Kutatap langit dalam sunyinya Joglo, sesekali kulihat ke arah jalan belakang gedung radio REM FM di depanku. Berharap ada sosok yang datang ke Joglo. Serta beberapa kali aku menengok ke arah jalan lain, yaitu tepat di belakang gedung C3 FE yang biasa aku tempati untuk kuliah. Berharap juga di balik kegelapan rimbunya pohon-pohon di kampusku malam itu, akan muncul teman-temanku berdatangan. Tak terasa aku terdiam disana sudah hampir setengah jam. Aku mulai khawatir jangan-jangan teman-temanku tidak ada yang datang. Aku sempat kecewa dan bersedih. Entah kenapa aku merasa sangat bertanggung jawab untuk bisa menampilkan sesuatu pada inagurasi nanti. Tak ingin nama bidkmisi fakultasku tak akan menampilkan apa-apa selain Eka yang ingin bernyanyi.
Aku mulai sms teman-temanku, apakah mereka jadi datang atau tidak. Aku bersyukur, ada banyak diantara mereka yang membalas menerangkan bahwa mereka sedang dalam perjalanan. Setelah setengah jam menunggu akhirnya teman-temanku mulai berdatangan, hingga sekitar sepuluh orang termasuk Lia. Aku senang, ada hasilnya aku menunggu. Setelah itu kami menunggu sang pelatih sambil memikirkan jalan cerita dramanya. Lia pun menghubungi sang pelatih. Ternyata sang pelatih sudah sampai di depan C3. kami pun langsung menuju kesana menemui sang pelatih.
Aku lihat Lia menghampiri seseorang berambut gondrong dengan ikatan panjang pada rambutnya. Aku tahu itulah sang pelatih yang dimaksud Lia. Dari gaya dan penampilan orang itu aku bisa merasakan sisi dunia seni yang melekat terlihat menyertainya. Kami pun menuju ke tengah gedung C3 lantai satu. Menuju ke sebuah tempat yang cukup luas untuk duduk lesehan. Kami duduk tepat diapit dua mading. Mading-mading yang biasa ditempeli berbagai pengumuman dari kampus dan berbagai organisasi yang menginformasikan sebuah acara. Sang pelatih memperkenalkan diri pada kami, namanya Bang Kodrat dari UKM KIAS FBS. Salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berkecimpung di dunia drama yang berasal dari Fakultas Bahasa dan Seni. Selanjutnya beliau menanyakan pada kami tentang gambaran cerita yang ingin kami tampilkan, aku pun mewakili teman-temanku dan menyampaikannya pada Bang Kodrat. Aku berkata dengan penuh semangat,
“Begini bang ceritanya, pertama-tama ada anak-anak bidikmisi yang sedang kumpul-kumpul. Mereka saling bercurhat ria tentang beasiswa bidikmisi mereka, setelah itu muncul anak bidikmisi lagi yang mengajak untuk demo menentang kenaikkan BBM. Kemudian terjadi perdebatan disana antara yang pro dan kontra. Akhirnya ada sebagian anak yang menjadi kontra dan sepakat untuk demo”.
Bang Kodrat pun mengangguk-angguk dengan wajah berfikirnya. Setelah itu beliau mengambil beberapa buah teks sebagai panduan bagi kami. Memang saat itu sedang marak-maraknya aksi demo menentang kenaikan BBM yang terjadi di Indonesia, karena pada saat itu Prseiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono baru saja menaikkan harga BBM.
Selanjutnya Bang Kodrat memilih kami untuk berperan jadi apa, apa dan apa. Pertama Bang Kodrat ingin ada pantomim, aku kaget kok ada pantomim juga. Bang Kodrat membagi peran untuk para mahasiswa bidikmisi FE yang hadir pada saat itu. Bang Kodrat meminta dua adik kelasku yaitu Furqon dan Arif untuk jadi pemeran pantomimnya. Hesti dipilih jadi yang membaca prolog. Eko dipilih untuk menjadi pemimpin pemain musik perkusi, dan yang lainnya diminta merancang teks skenarionya.
Kami mendapat buku panduan dari bang Kodrat. Dalam alur cerita panduan dari bang Kodrat ada sebuah sesi dimana kami harus bernyanyi bersama. Kami bernyanyi lagu “Jaranan”, sebuah lagu dari Jawa. Kami pun mencobanya menyanyikannya secara bersama-sama. Namun terasa lagu itu kurang pas denan tema yang kami usung. Kemudian ada yang usul untuk diganti dengan lagu “Iwak peyek”, yang memang saat itu sedang tenar-tenarnya di Indonesia. Kami semua pun setuju begitu juga dengan Bang Kodrat. Tapi kami mengubah lirik lagu itu,

Iwak peyek iwak peyek
Iwak peyek  nasi jagung
Sampai tuek sampai nenek
Bidikmisi tetap disanjung

Iwak peyek iwak peyek
iwak peyek nasi tiwul
Sampai tuek sampai nenek
Bidikmisi tetap unggul
Kami pun menyanyikan lagu itu bersama-sama. Menyanyikannya dengan semangat dan penuh senyum tawa. Tanpa terasa waktu terus bergulir, malam semakin larut menginjak pukul sepuluh malam. Sementara teks skenarionya baru sedikit sekali yang jadi. Padahal waktu pentas seni tinggal beberapa hari lagi. Disisi lain para mahasisswi yang perempuan itu sudah harus pulang karena sudah larut malam. Kami pun buat kesepakatan bersama malam itu, besok nanti kami akan latihan sampai sejadinya bahkan sampai pagi pun bersedia.
Selanjutnya Aku dan satu lagi adik kelasku yaitu Koeri, pergi mengantar para mahasisiwi perempuan tadi untuk pulang ke Kos masing-masing. Koeri, dia adalah salah satu koodinator mahasiswa bidikmisi FE dari progam studi Pendidikan EKonomi Koperasi. Bergantian dengan dia, aku mengantarkan para mahasiswi itu. Malam yang dingin disertai rintik hujan membuatku kedinginan di tengah malam mengantarkan mereka. Hingga giliranku mengantarkan para mahasiswi bidikmisi lain ke asrama putri mahasiswa bidikmisi. Disana kami harus berhadapan dengan satpam petugas keamanan asrama. Riwa, salah satu mahasiswi yang aku antar memintaku untuk berkenan menjelaskan kepada petugas keamanan asrama itu tentang alasan kepulangan mereka yang sampai larut malam itu. Menjelaskan kepada petugas keamanan asrama itu bahwa mereka telah mengikuti latihan drama. Aku pun mendatangi bapak petugas keamanannya itu. Dengan sedikit was was, aku bicara dengan baik-baik menjelaskan apa yang telah kami lakukan. Alhamdulillah sang petugas memaklumi hal itu, lega rasanya karena tidak dimarahi. Sang petugas itu pun memberi tahu padaku bahwa sebenarnya jam pulang mahasiswi penghuni asrama adalah pukul sembilan malam. Setelah itu Riwa dan kawan-kawan tersenyum kepadaku, karena berhasil diperbolehkan masuk asrama dengan lancar. Setelahnya aku pun kembali ke gedung C3, kembali menerobos dinginnya angin malam dengan guyuran rintik hujan.
Aku sampai di gedung C3, masih ada semua anak laki-laki yang tadinya ikut latihan. Kami tak langsung istirahat. Kami bersama Bang Kodrat langsung mengkonsep lagi drama yang akan kami tampilkan nanti. Beliau memberi contoh, memberi masukan, memberi ide-ide yang tak kami duga. Hingga saking asyiknya sudah lebih dari jam dua belas malam, kami pun menyudahi persiapan pada malam itu. Eko, Arif, dan Furqon kembali ke kos masing-masing. Sementara aku dan Koeri menuju ke mushola Fakultas Ilmu Sosial (FIS) untuk sholat dahulu. Namun akhirnya kami berdua pun memutuskan untuk tidur di mushola FIS itu sekalian.
Sebelum tidur, aku mencoba membuat teks skenario untuk dramanya. Mencoba mengolah kata untuk drama bidikmisi FE yang akan kami buat. Tak terasa saking asyiknya aku membuatnya, jam dinding di mushola itu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku pun tidak kuat menahan kantuk. Akhirnya aku pun tidur di mushola itu, menyusul Koeri yang dari tadi sudah tertidur lelap. Hingga akhirnya kami terbangun kembali setelah mendengar suara adzan berkumandang. Kami pun bergegas bergegas wudhu dan sholat berjamaah. Seusai sholat aku dan koeri bergegas pulang.
Jam tujuh pagi aku berangkat kuliah, terasa mataku sangat berat sekali disertai rasa kantuk yang dalam saat kuliah. Walau aku sudah membawa permen kopi tetapi tetap rasa kantuk itu menyerang bertubi-tubi. Mungkin efek dari begadangku semalam sampai jam dua pagi. Akhirnya siang yang berat itu bias aku lalui walaupun dengan rasa kantuk yang luar biasa. Hingga sang mentari mulai tenggelam kembali, menandakan waktunya untuk kembali latihan drama lagi. Aku dijemput Koeri untuk menuju Joglo FE, koeri terlihat membawa bekal dan perrlengkapan di tasnya yang terlihat penuh. Ya, bekal untuk jambore pada hari jum’at besok. Karena kamis malam itu kami sudah sepakat untuk belatih sampai sejadinya drama kami, walau sampai pagi.
Kami sampai di joglo, menunggu teman-teman yang lain. Alhamdulillah pada hari itu aku berhasil mengajak beberapa orang lagi untuk ikut meramaikan dramanya. Begitupun Eko mengajak teman-teman bidikmisi yang lain untuk ikut bermain musik. Akhirnya teman-temanku sudah datang cukup banyak. Sang pelatih pun tiba dengan cepat. Kami seketika langsung berlatih dramanya. Berbagai macam karakter kami mainkan. Bagian pertama adalah bernyayi lagu iwak peyek bersama-sama. Aku sangat suka bagian ini, karena tidak banyak butuh ekspresi yang dibutuhkan. Hanya ikut bernyanyi dan berjoget bersama-sama mendendangkan lagunya. Justru bagian ini sungguh bisa menghilangkan rasa lelah dalam fikiranku dan juga justru membuatku kembali fresh di tengah kepenatanku.
Selanjutnya adalah masuk ke dialognya, sungguh sulit ternyata bermain drama. Jujur aku sulit sekali berekspresi memerankan selain karakter diriku yang asli. Bang Kodrat tak kehabisan akal dan semangat untuk memberi contoh pada kami. Kami diberi contoh dengan berbagai ekspesi sesuai peran kami. Saat setiap pemain giliran memainkan perannya, sering kami harus mengulanginya berkali-kali untuk memperbaiki acting kami. Mungkin saat itu yang paling tidak bisa berperan dengan baik, tak lain hanya aku.
Waktu terus berlalu, kami belum bisa mendapatkan jalan cerita yang terasa bagus. Aku serasa ingin berputus asa, akankah drama dari FE ini akan gagal fikirku. Terlebih lagi bang Kodrat selalu menambahi dan mengubah terus konsep dan jalan cerita. Kami jadi bingung dan ingin protes. Mungkin kami yang masih awam dalam dunia teater dan drama, merasa sungguh sulit mengalami saat-saat seperti itu. Saat masih mencoba memainkan peran yang diajarkan, tiba-tiba ada konsep baru dan ekspresi baru yang harus kami lakukakn. Tapi mungkin jika itu dilakukakan dan dialami anak drama, mungkin itu adalah konsep yang bagus. Tetapi apalah daya, kami hanya pasrah saja dengan sang pelatih dan percaya apa yang dilakukan dan dikonsep Bang Kodrat itu yang terbaik demi keberhasilan dramanya. Kami pun tetap berusaha sungguh-sungguh untuk bisa melakukannya.
Kami asyik dan serius berlatih drama, kadang-kadang kami memberi efek memati-hidupkan lampu sebagai penambah seni dalam dramanya. Tiba-tiba saat lampu dimatikan, di kegelapan Joglo tempat kami berlatih. Aku melihat sosok yang memakai topi dengan pakaian serba hitam datang menghampiri kami yang sedang asyik berlatih. Lampu pun dihidupkan, aku kira orang itu ingin sekedar melihat latihan kami. Akan tetapi setelah aku memperhatikannya, orang itu nampak serius bertanya-tanya pada Eko dan teman-temanku yang ada di sekelililngnya. Karena penasaran aku pun menghampiri orang itu, Eko pun menjelaskan padaku bahwa dia adalah satpam Unnes yang sedang berpatroli. Eko pun memintaku untuk menjelaskan kepada satpam itu tentang kegiatan yang kami lakukan saat itu. Tak aku sangka, satpam itu bicara padaku dengan nada tinggi dan wajah yang tidak ramah. Dia menegur kami yang berlatih di joglo dengan mematikan lampu tapi tidak izin dengan keamanan kampus. Aku pun meminta maaf kepada satpam tersebut, tetapi satpam itu tetap memperlihatkan wajah tak enaknya. Aku pun rasanya ingin marah juga, begitu juga teman-temanku. Tapi kami berhasil menahan marah kami. Aku sudah berusaha bicara baik-baik tapi satpam itu tetap tidak menunjukan keramahannya.  Padahal kami sudah mengakui kesalahan kami, karena memang kami tidak mengetahui adanya peraturan ketika memakai Joglo dan mematikan lampu tersebut. Satpam itu pun pergi dan menyuruhku segera lapor kepada satpam FE untuk meminta izin.
Aku dan Eko pun segera menuju ke gedung C6, tempat satpam FE berada. Kami pun memberi laporan serta meminta izin. Awalnya aku mengira satpam tadi berada di gedung C6 juga, tetapi disana kami tidak melihat satpam itu berada. Aku dan Eko langsung bercerita tentang kejadian tadi, serta meminta izin kepada satpam yang bertudi FE. Kamu juga meminta maaf karena belum berkonfirmasi terkait pemakaian Joglo. Alhamdulillah satpam FE yang aku temui pada saat itu orangnya ramah dan murah senyum tidak seperti satpam yang menegurku tadi.
Aku dan Eko kembali ke Joglo melanjutkan latihannya. Malam semakin larut menunjukan pukul sepuluh malam, kami belum berhasil memerankan dan menyempurnakan jalan ceritanya. Sempat terjadi perdebatan antara kami, antara dalam dramanya fokus tentang kegalauan mahasiswa bidikmisi atau ditambahi dengan adanya masalah demo BBM. Perdebatan itu panjang sekali, tapi akhirnya kami memutuskan untuk fokus ke kegalauan mahasiswa bidikmisi terkait banyak kewajiban yang harus kami laksanakan sebagai mahasiwa bidkmisi. Hal itu sebagai kritik juga kepada birokrasi karena memberikan banyak kewajiban kepada kami. Tetapi ketika praktek, ceritanya pun masih saja mengambang tidak jelas. Konsep dramanya selalu berubah-ubah. Kami justru yang tersasa semakin galau malam itu.
Waktu semakin malam, sementara itu datang rombongan dari mahasiswa bidikmisi FIS. Ternyata mereka juga dilatih oleh bang Kodrat. Setelah itu kami diminta bang Kodrat untuk istirahat saja dulu dan mendiskusikan jalannya cerita sambil melihat anak-anak FIS yang sedang latihan. Mereka sedang berlatih puisi teatrikal. Kami pun berdiskusi di depan kantor BEM FE, disitu kembali kami merasa bingung. Kenapa konsep dari bang Kodrat berubah-ubah terus, kami pun berkeluh kesah. Tiba-tiba eko memberi masukan,
“Ayoo mending kita kembali ke konsep kita kemarin yang sudah kita rancang. Itu pun simpel dan bagus”.
Kemudian aku dan Eko menerangkan jalan cerita yang dikonsep pada malam sebelumnya. Setelah itu kami membagi perannya kembali, dan mulai praktek sendiri lagi. Kami agak lega karena bisa memerankannya sampai akhir.
Setelah itu giliran kami untuk berakting di depan Bang Kodrat, kami agak grogi di depan beliau. Kami mendapat masukan banyak lagi oleh Bang Kodrat, kelihatan Bang Kodrat kurang bersemangat pada waktu itu karena melihat penampilan kami yang tidak sebagus anak-anak bidikmisi FIS. Hingga drama pun kami praktekan sampai akhir, Bang Kodrat tetap dalam ekspresi yang biasa saja tak seperti biasanya. Setelah itu kami diminta untuk beristirahat lagi, itu sudah lebih dari jam dua belas malam. Anak-anak FIS pun kembali menunjukan bakat mereka, sungguh bagus itu rasanya dibanding kami. Kami hanya bisa menonton dari depan kantor BEM dengan wajah lelah dan kantuk yang berat sekali. Aku melihat teman-temanku terlihat sangat capek sekali, mereka duduk sambil termenung seolah terbayang pada fikiran mereka,
“Akankah drama ini dapat berhasil?”.
Pada saat latihan tadi pun aku juga merasa sangat kesulitan memerankan karakter yang aku dapatkan. Aku sempat berputus asa, dan bilang kepada Bang Kodrat,
“Bang, jika aku nggak bias. Mending aku diganti saja dengan yang lain”.
Sontak para teman-temanku kaget dan bersorak terhadapku,
“Ayoo kak Agus semangat. Cemungut cemungut kakak!”
Sorak adik-adik kelasku dengan nada dan kata-kata lebay yang akhirnya membuatku tersenyum sendiri. Aku sedikit kembali bersemangat dan senang. Betapa teman-temanku itu mereka sangat penuh semangat. Aku pun berusaha lagi untuk bisa menyesuaikan peranku. Walau aku akui sangat sulit sekali aku memerankannya.
Waktu terus berlalu, jam sudah menunjukan lebih dari jam satu pagi. Aku lihat Eko sedang asyik memetik gitar mengiringi keheningan malam itu. Sementara aku lihat  teman-temanku  yang lain sebagian sudah mulai tertidur di depan kantor BEM FE. Aku fikir mereka sudah sangat capek sekali, jadi latihannya tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi. Aku coba ke kantor Himpunan Mahasiswa (Hima) yang kemarin baru dibongkar-bongkar isinya karena ruang mereka akan dipindah, dan ternyata tidak dikunci. Aku pun bangunkan teman-temanku yang tertidur di luar ruangan. Supaya tidur di dalam ruang saja, kerena tidur di luar pasti dingin sekali dan tidak baik bagi kesehatan. Mereka pun mulai beralih ke ruang kantor Hima. Aku coba pinjam gitar yang dipegang oleh Eko untuk sekedar menghibur malamku itu, aku pun coba nyanyikan lagu-lagu dengan pelan. Bernyanyi di tengah gelapnya malam dibalik rasa lelah di badan dan fikiranku.
Malam semakin larut. Aku duduk-duduk di depan ruang Hima, aku lihat teman-temanku tidur di atas lantai keramik. Aku terus coba mencari tasku, aku buka tasku ternyata ditasku masih banyak lembaran koran yang kemarin aku beli. Aku ambil koran itu dan aku berikan kepada teman-temanku supaya bisa dipakai sebagai alas untuk tidur. Setelah itu salah satu adik kelasku Riwa, seorang gadis yang terlihat sangat energik saat latihan, saat itu justru keluar dari ruang Hima. Gadis itu justru menuju ke arah sebuah alat yang sering digunakan oleh PMI. Sebuah alat untuk menggotong orang, sebuah tandu. Riwa langsung tetidur lelap disitu, aku ambil koran yang masih ada untuk bisa menjadi selimut menutupi tubuhnya. Melihat Riwa yang tidur di luar aku jadi tidak ingin tidur. Aku putuskan untuk melek sampai pagi, tak mungkin aku ikut tidur juga sementara membiarkan seorang gadis tidur di luar. Aku duduk-duduk sambil sesekali berbincang-bincang dengan beberapa temanku yang belum tidur juga. Alhamdulillah masih ada beberapa temanku dan termasuk Bang Kodrat juga yang masih melek.  Hingga sekitar jam tiga  pagi mereka baru pulang.
Tanpa terasa waktu terus berlalu dan sekitar jam empat pagi kulihat para teman-temanku yang tadi tidur pada bangun. Mereka ternyata ingin pulang dulu kekos masing-masing untuk mempersiapkan perlengkapan nanti untuk jambore. Setelah mereka pulang aku coba rebahan di depan kantor BEM FE bersama dengan beberapa temen cowok yang lain. Tanpa terasa aku sempat tertidur sampai terdengar suara azan subuh menggema. Kami pun terbangun dan menuju ke mushola FIS untuk sholat berjamaah. Setelah itu kami mempersiapkan bekal untuk jamborenya. Jambore pun tiba, saat pagi di awal hari pertama jambore itu aku sungguh merasa sangat ngantuk sekali. Serasa ingin tidur dan beristirahat. Tetapi aku harus menahan itu, karena saat itu aku kebetulan menjadi ketua kelompok dalam jambore. Alhamdulillah aku bisa menahan rasa kantukku dan menyelesaikan berbagai agenda acara jambore di hari pertama dengan lancar.
Malam harinya, aku sms semua teman-temanku bidikmisi FE yang ingin membantu kesuksesan dramanya untuk latihan lagi. Akhirnya mereka sepakat, malam itu kami latihan lagi. Kami sangat berharap malam itu kami sudah bisa menyelesaikan jalan ceritanya dengan lancar. Tetapi tak aku sangka, malam itu kami masih belum klop rasanya dengan jalan ceritanya. Sedangkan badanku sudah terasa capek sekali. Begitu juga dengan teman-temanku pastinya, karena siang harinya tadi kami banyak mengikuti agenda dalam Jambore. Saat sudah menjelang tengah malam, kami sebagian tertidur di joglo termasuk aku. Ada beberapa yang belum tidur, Lulu’, Riwa dan Lia dan beberapa yang lain masih aku dengar suaranya samar-samar terdengar dari tidurku. Terdengar mereka sedang mencari ide dan jalan pintas untuk drama itu. Aku pun terbangun, aku gabung dengan mereka. Terlihat wajah senyum dari mereka, mereka mengatakan bahwa ceritanya dibuat lebih simple lagi. Tidak ada demo-demonya, hanya fokus ke kegalauan bidikmisi. Serta ditambah dengan beberapa lagu dan puisi serta tokoh ustad yang akan diperankan oleh Koeri untuk memberikan pesan-pesan diakhir drama. Aku senang dan setuju saja dengan konsep itu, dan aku pun mengajukan diri sebagai tokoh ustadnya menggantikan koeri. Sementara Koeri menggantikan peranku sebagai mahasiswa yang galau. Mereka pun dengan senang hati menyetujuinya.
Pagi harinya, dihari kedua jambore adalah kegiatan Outbond dan Riset Camp. Kegiatan Outbond  yang diisi dengan berbagai permainan yang menekankan kerja sama antar anggota kelompok untuk berhasil memecahkan sebuah misi. Selanutjuntnya tentang Riset Camp, setiap kelompok ditugaskan menyelesaikan misi untuk membersihkan sampah-sampah yang berada di sekitar kampus Unnes. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya dengan lancar pula.
Menjelang sore, aku mendapat sms dari teman-teman yang dari kemarin ikut serta latihan drama. Mereka memintaku untuk mengumpulkan anak-anak bidikmisi FE untuk latihan terakhir persiapan drama. Hal itu dikarenakan malam itu adalah malam inagurasinya. Sekitar jam setengah enam sore aku sms semua pemain dan pendukung drama untuk kumpul sambil istirahat dan makan bersama di depan gedung Auditorium tempat pusat berlangsungnya jambore. Di tempat itu kami berdiskusi sambil makan makanan yang disediakan panitia. Kami sempat berdebat tentang drama saat itu, namun disitu intinya demi kebaikan dan kesuksesan drama. Akhirnya langsung saja setelah makan kami sepakati langsung latihan. Kami tentukan lapangan di depan auditorium Unnes sebagai tempat latihannya, lapangan rektorat Unnes. Tepat di bawah tiang bendera, kami sangat bersemangat berlatih di tengah rasa capek seharian berkegiatan. Kami berlatih dalam kondisi yang sebenarnya sangat butuh istirahat. Dalam suasana yang remang-remang menjelang magrib, sampai wajah kami sudah tak jelas untuk dipandang karena minimnya cahaya penerangan. Kami berlatih mengiringi mentari yang mulai terbenam, sayup-sayup suara serangga malam pun sudah terdengar di sekeliling kami. Setelah beberapa saat akhirnya suara adzan menggema ke seluruh penjuru arah mata angin. Tanda kami sesaat kemudian menyudahi latihan pada sore itu. Latihan penuh semangat yang disaksikan oleh diamnya rumput-rumput lapangan rektorat. Serta ditonton pula oleh gagahnya tugu konservasi Unnes beserta tiang bendera yang senantiasa mengawasi kami yang ada di bawahnya.
Teman-temanku sebagian lansung pulang ke kos masing-masing untuk bersih-bersih. Sedangkan aku ajak Koeri untuk membantuku mengkonfirmasi panitia jambore tentang lampu-lampu yang akan kami hidup matikan saat drama. Di tengah tubuh yang masih lusuh karena belum juga mandi. Aku dan Koeri mencari panitianya, aku tanyakan bagaimana cara mematikan lampu panggung di auditorium. Aku pun menunggu panitia dan petugas auditorium, sambil menunggu aku melihat banyak mahasiswi bidikimisi yang sedang istirahat di dalam auditorium yang terlihat sudah nampak rapi. Ya malam ini mereka akan melihat pentas seni, penampilan dari para mahasiswa bidikmisi. Termasuk penampilan dariku dan teman-temanku.
Persiapan terakhir untuk drama pun kami lakukan. Setelah aku mandi dan bersih-bersih, aku pun menuju joglo FE. Aku lihat teman-temanku sudah berdatangan. Aku senang sekali mereka sangat semangat yang terlihat dari wajah mereka. Saat mereka datang mereka tersenyum kepadaku semacam keheranan. Saat itu mereka heran, karena aku sudah memakai baju seorang ustadz lengkap dengan surbannya. Walaupun menurutku itu sederhana saja, pakaian itu sudah biasa aku pakai saat aku solat. Ya nanti ketika drama, aku mendapat peran sebagai seorang ustadz. Kulihat teman-teman juga sudah membawa kostum-kostum yang tidak aku duga, ada yang membawa gamis, kebaya, baju daerah dan lain-lain. Mereka mulai memakai pakaian masing-masing. Bang kodrat pun datang, dan beliau langsung memberi intruksi kepada kami untuk segera berkostum sesuai arahannya. Selanjutnya tak aku sangka beliau merias dan mempermak habis Furqon dan Arif untuk jadi pantomim. Tidak tanggung-tanggung hampir seluruh tubuhnya dicat oleh Bang Kodrat. Sementara aku dapat sms dari BSC untuk datang ke Audit untuk pengaturan urutan penampilan.

Kami mendapat urutan tampil ke tujuh. Aku kembali lagi ke Joglo. Aku lihat teman-temanku sudah memakai kostum masing-masing. Aku pun ikut-ikutan, penampilan pertamaku belum memakai pakaian Ustadz. Aku mendapat peran ganda, pertama mendapat peran menjadi mahasiswa yang gaul. Aku dengan bangganya memakai sebuah kacamata hitam besar. Bergaya layaknya pemuda alay, memakai baju rangkap dengan kemeja yang terbuka di luarnya. Hingga saat aku memakai kacamata, dan bergaya semauku. Respon dari teman-teman sungguh luar biasa. Mereka tak menyangka bahwa ketua bidikmisi FE bisa bergaya seperti itu. Setelah semua siap, kami langsung menuju auditorium dengan sebagian besar berjalan kaki.
Kami sampai disana dan langsung menunggu urutan penampilan kami tiba. Bang kodrat berinisiatif untuk gladi bersih sekali lagi di samping auditorium, di lapangan dekat mushola. Kami pun mengikutinya, dengan semangat kami gladi bersih dalam remang-remangnya cahaya lampu yang menyinari kami. Kami berlatih dengan semangat, diiringi perasaan semakin deg-degan yang sebentar lagi akan tampil. Hingga tibalah benar-benar giliran kami akan tampil. Namun tiba-tiba dari panitia mengatakan ditunda dahulu. Tiba-tiba ada satu dua lagi mahasiswa yang usul mau tampil sebelum kami. Mereka memohon kepada kami untuk  memperbolehkannya, kami pun mempersilahkannya. Sementara itu sms mengalir deras kepadaku dari teman-teman bidikmisi FE. Mereka menanyakan kapan drama dari FE akan tampil. Aku pun bilang kepada mereka untuk sabar menunggu. Aku senang karena penampilan drama dari bidkimisi FE sangat ditunggu-tunggu.
Hingga pada akhirnya giliran kami pun tiba.
“Inilah penampilan drama dari Fakultas Ekonomi” seru pembawa acara pada saat itu.
Seketika sambutan dari penonton meriah sekali. Tapi seketika hening kembali saat tiba-tiba lampu dimatikan. Setelah itu Bang Kodrat dan kawan-kawan bidikmisi FE memasang lilin-lilin di seanjang panggung dan menyediakan perlengkapan selagi lampu mati. Aku dengar riuh sambutan dari mahasiswa yang menonton menanti penampilan dari kami,
“Ekonomi.. prok prok prok... Ekonomi prok prok prok”.
Suara tepuk tangan itu menambah semangat bagiku. Kami pun segera masuk ke panggung dengan berpose dan bergaya sedemikian rupa. Kami berpatung dahulu, dan nanti saat dikenalkan baru bergerak sambil mengucapkan kata-kata yang  seolah mencerminkan karakter kami dalam drama. Aku tepat berada paling tengah dengan gaya yang tak biasa aku lakukan. Gaya seorang pemuda yang memakai kacamata memakai baju luar yang dibuka dengan gayanya memandang ke angkasa. Hesti sebagai sosok yang berperan sebagai dalang dalam drama memulai prolognya dengan diiringi gending Jawa yang dilantunkan oleh Riwa. Sebuah gending Lingsir Wengi yang seketika membuat para penonton langsung terdiam. Suara gending Jawa yang dilantunkan Riwa membuat para penonton merasa merinding. Gending Lingsir Wengi yang dinyanyikan Riwa sungguh terdengar mendayu-dayu. Hal itu juga karena Riwa juga aslinya adalah seorang sinden yang sudah terbiasa menembangkan lagu-lagu berbahasa Jawa. Hesti pun mengenalkan kami satu persatu, dimulai dari pantomim, kemudian azis, Dimas dan selanjutnya adalah aku. Hesti berkata,
                “Pemain selanjutnya adalah Agus”
Aku pun bergerak dari berpatungku dengan seraya berkata sambil mengepalkan jari-jariku.
“Semangat Mas Bro !!!”
Seketika itu penonton yang lebih dari seribu mahasiswa itu langsung bersorak ramai karena aksiku itu. Aku juga sedikit bingung mengapa bisa jadi riuh dan ramai seperti itu, apakah tadi aku melakukan suatu yang menarik, lucu, aneh atau apa. Tetapi yang jelas aku merasa senang aku berhasil membuat penonton riuh bersorak ramai. Hal itu karena para pemain sebelumnya tidak ada yang disambut seperti itu. Selanjutnya sampai selesai perkenalannya, iringan riuh penonton ramai bersorak-sorak. Setelah itu lampu mati kembali dan aku kembali kebelakang panggung.
Sesi yang pertama adalah menyanyikan lagu iwak peyek versi kami, saat itu aku harus ikut berjoget-joget untuk ikut bernyanyi. Pada sesi itu juga ada moment perkelahian antara penonton dan pemain, sosok penonton itu sendiri dimainkan oleh Eko. Sungguh seru saat moment itu, semua penonton terlihat kaget dan penasaran apakah itu di luar skenario atau bukan. Setelah peristiwa itu kami lanjutkan dengan dialog bertema kegalauan bidikmisi.  Sementara itu aku kembali ke belakang panggung untuk berganti kostum menjadi seorang ustadz. Sambil menyaksikan teman-temanku yang lain yang asyik berakting menceritakan kegalauan mahasiswa bidikmisi aku deg-degan karena akan segera tampil. Kini aku segera tampil, aku masuk bersama lulu’ yang berpakaian kebaya, sontak aku dengar riuh dari penonton lagi mungkin karena melihatku masuk berpasangan dengan lulu’ atau karena aku telah berganti kostum sebagi seorang ustad. Hehe aku jadi ingin tertawa sendiri, asalnya seorang yang bergaya gaul berubah seketika jadi seorang ustadz. Aku pun masuk dan menghampiri para pemain yang tadi duluan masuk. Aku langsung berpidato layaknya seorang ustad, aku bicara dengan hati-hati. Aku sudah persiapkan kata-kata sejak di sore harinya, aku sempat bingung ingin mencari bahan-bahan pidatonya. Aku berpidato dengan lantang, aku tidak menyangka bisa selantang itu saat berhadapan dengan penonton sebanyak itu, aku jauh berbeda saat latihan yang tidak mampu berbicara dengan sangat lantang. Saat aku lantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an, tiba-tiba suasan auditorium jadi hening beberapa waktu. Saat aku berhenti menghela nafas, riuh sorak penonton kembali terdengat lagi. Setelah pidatoku selesai, dramanya ditutup dengan menyayikan lagu syukur dari Opick secara bersama-sama. Setelah selesai aku dengar riuh tepuk tangan dari penonton terhadap aksi drama kami.
Kami kembali ke belakang panggung dengan senang sekali, hasil jerih payah usaha keras kami siang malam bisa terwujudkan dengan lancar dan aku anggap itu sukses sekali. Aku juga melihat senyum senang terlihat dari wajah teman-temanku dan juga dari bang Kodrat dan teman-temannya. Selain itu juga aku mendapat banyak sms dari teman-temanku yang menonton mereka mengatakan bahwa drama dari kami bagus dan keren sekali. Setelah itu kami istirahat dan makan bersama di belakang audit. Sementara itu banyak dari teman-teman yang datang menghampiri kami utnuk minta berfoto, yang paling laris adalah Furqon dan Arif sebagai pantomim. Banyak sekali yang ingin berfoto dengannya. Setelah drama itu banyak yang berkomentar kepadaku dengan penuh canda tawa,
“Wah Agus pak ketua, jadi ustadz gaul. Asalnya joget-jogetan eee.. malah akhir-akhirnya jadi ustadz”.
Aku pun tersenyum dan senang menanggapi komentar itu. Demikian ceritaku bersama teman-teman IMBISI FE yang seru-seruan berlatih dan bermain drama, sangat berkesan dan menyenangkan.

UNTAIAN HIKMAH

Pertama, Terkadang kita rela berkorban melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain atau sebuah kelompok yang kita cintai. Seperti aku dan teman-temanku yang rela berlatih dengan keras hanya demi bisa membanggakan nama bidikmisi FE. Rasa cinta terhadap kelompok atau organisasi yang kita punyai dapat memicu lahirnya semangat untuk rela berkorban. Hal itu karena kita merasa kebahagiaan yang kita rasakan bukanlah untuk diri kita sendiri. Namun kebanggan dan kebahagiaan itu adalah milik bersama dan milik banyak orang. Sehingga semangat itu mengalir begitu saja, agar kita bisa membuat orang lain terlihat tersenyum senang.

Kedua, harapan dan keinginan dapat membuat kita berbuat lebih dari yang kita kira. Aku dan teman-temanku yang awalnya tak bisa membayangkan untuk bisa tampil, akhirnya justru bisa tampil maksimal dan mendaptkan banyak  riuh tepuk tangan. Sering kali kemampuan akan tumbuh begitu cepat dikala kita tak merasa terbebani dengan tugas dan kewajiban yang ada. Atau kita tak merasa terpaksa melakukan hal yang kita harus wujudkan. Tanpa kita sadari, dengan terus berusaha maka diri kita akan berkembang. Jika kita menyerah, maka sebenarnya kita menutup kemungkinan untuk mengetahui sampai mana kita tahu pencapaian yang bisa kita wujudkan.

Ketiga, Kewajiban bukanlah melulu tentang beban namun sebenarnya bisa kita nikmati bahkan membuat kita bisa menjadi lebih karenanya. Semua kegiatan yang diwajibkan kepada mahasiswa bidikmisi terkadang memang membuatku merasa agak terbebani. Namun setelah merasakan bahwa sebanarnya ada manfaat yang bisa aku peroleh darinya. Sebenarnya memang banyak sekali pelajaran dan kemampuan yang akhirnya bisa aku miliki. Mungkin semua ini akhirnya tergantung diri kita sendiri, menganggap semua kewajiban yang ada di dunia ini adalah beban. Atau menggagapnya sebagai tempat untuk menempa diri.

Keempat, Kita butuh teman untuk menyemangati kita berjuang mewujudkan sebuah keinginan. Dalam jambore itu, jika aku tak memiliki teman-teman yang selalu semangat dan bersedia menyemangatiku. Tentu aku dan juga bidikmisi FE tidak bisa jadi tampil maksimal di panggung pentas seni itu. Bahkan mungkin tak berani untuk hanya sekedar tampil saja. Teman, ia adalah sosok yang bisa menjadi tempat untuk berbagi cerita untuk kisah senang bahagia kita. Namun teman, ia juga adalah tempat bersandar saat kita lelah. Ia sering kali menjadi sosok yang mampu membangkitkan semangat, dia memberi tahu kita dimana letak harapan dari sudut yang sebelumnya tak kita tahu. Itulah beruntungnya jika kita punya teman, jadi janganlah lelah untuk mendapatkan dan mempunyai banyak teman.

Kelima, Kita tak pernah tahu batas kemampuan kita, kita hanya bisa berusaha dengan sebaik-baiknya. Hingga akhirnya suatu saat kita bisa menyadari, oh ternyata aku bisa melakukan hal yang sampai sejauh ini. Aku yang awalnya tak mengira bisa ikut dalam pentas drama, akhirnya mengerti bahwa tak semua hal harus didasari rasa suka maupun bakat yang dibwa sejak lahir. Namun berkat usaha dan kerja keras, banyak hal yang sebenarnya bisa kita raih. Mungkin itulah sebabnya, setiap orang tak dibekali oleh bakat-bakat alami sejak lahir. Hingga setiap orang itu mau berusaha, dan akhirnya bisa menikmati proses untuk meraih keberhasilannya.

Keenam, kerja sama adalah kunci keberhasilan sebuah kelompok. Tanpa kerja sama maka sebuah kelompok akan menjadi tidak karuan jalannya. Kerja sama yang tejalin antar mahasiswa bidikmisi FE membuatku mengerti bahwa itulah kunci kesuksesan penampilan mahasiswa bidikmisi FE dalam pentas seni itu. Sebuah kerja sama pun akan terasa menyenangkan jika disertai keakraban dan saling percaya. Bukan kerja sama yang penuh paksaan atau terlalu menekankan itu adalah sebuah kewajiban bagi setiap anggota. Tetapi rasa ikhlas bahwa setiap yang dilakukan adalah untuk kebaikkan bersama.



0 Response to "Jambore Bidikmisi Universitas Negeri Semarang - Catatan Sang Bidikmisi ke-13"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.