Ceritaku, Dari Mengharapkanmu Hingga Memberanikan Diri Melamarmu

Ceritaku, Dari Mengharapkanmu Hingga Memberanikan Diri Melamarmu

 Kali ini aku ingin bercerita tentang kisahku sendiri yang berhubungan tentang cinta,  karena biasanya di blog ini aku lebih sering membahas tentang ceritaku ketika sekolah maupun dahulu ketika menjadi anak beasiswa. Sesuai dengan judulnya, aku ingin bercerita tentang diriku yang akhirnya berani melamar seseorang. Walaupun cerita ini sudah terjadi beberapa waktu lalu, sudah setahun lebih tepatnya. Yaitu pada tanggal 8 September 2017, pada hari kamis. Aku masih ingat hari itu, karena hari itu memang hari yang sangat istimewa.

----- * -----
MENGENALNYA

Cerita ini entah harus aku awali dari mana, jika harus kucari tahu sendiri tentang awal dimana aku mengenal sosok wanita yang bernama Chusnul Chotimah. Maka aku sendiri juga tak paham, kapan pertama kalinya aku mengenal dirinya atau berkenalan dengan dirinya. Dia sebenarnya tidak asing bagiku. Dia adalah adik kelasku saat di sekolah dasar. Di SD Negeri Tambakromo 03. Namun bukan berarti karena satu SD, aku sering berinteraksi dengan dirinya. Bahkan jika aku ingat-ingat, aku rasa bahwa diriku tak pernah sekalipun mengobrol dengannya. Entahlah, rasanya aneh juga. Padahal satu SD, satu tingkat di bawahku pula. Namun rasanya dia adalah orang yang asing bagiku.

Ceritanya pun berlanjut ketika aku dan dia juga satu sekolahan di tingkat Madrasah Tsanawiyah. Dia tetap menjadi adik angkatanku yang kondisinya tetap sama, aku dan dia sama-sama asing. Namun aku masih ingat sekali, tat kala ia duduk di belakang bangkuku ketika Ujian Akhir Semester. Sudah menjadi kebiasaaan, jika ada tes seperti itu maka akan dicampur beberapa kelas dengan acak. Namun rasanya juga sama saja, bisa dibilang aku dan dia masih sama-sama asing. Bahkan saat sekarang ini, saat kutanya dirinya tentang momen UAS itu. Dia seolah tak mengingatnya sama sekali. Bahkan ketika aku pertegas dengan pertanyaan,

"Dulu engkau bertanya padaku tentang sebuah soal, kira-kira soal itu tentang bahasan Amar Ma'ruf Nahi Munkar." 

Sekali lagi, dirinya sambil tersenyum bahwa sudah lupa momen UAS itu. Entah apakah aku yang pandai mengingat suatu hal. Atau dirinya yang tak menganggap penting peristiwa itu. Hehehe.

Awal aku bercakap-cakap justru tatkala aku dan wanita berkerudung cantik itu bertemu dalam sebuah bus. Itu pun ketika aku sudah kuliah di Semarang. Waktu itu aku sedang mudik dari Semarang ingin kembali ke kotaku, Pati. Serta dirinya sedang mudik pula dari kuliahnya di Kudus, menuju Pati pula. Tak sengaja aku naik bus yang sama dengannya. Ketika aku masuk dalam Bus jurusan Pati - Tambakromo, aku masuk seperti biasa. Saat aku melihat penumpang-penumpang di bus, terlihatlah dirinya olehku. Aku yang awalnya malu, mungkin hanya berbalas senyum sedikit saja. Aku merasa bahwa dirinya adalah tetatanggaku, gadis berkerudung itu adalah adik kelasku. Lalu aku pun beranikan diri menyapanya, lalu sedikit bertanya-tanya. Aku pun lupa saja yang aku tanyakan dan dia tanyakan. Mungkin saat itu belum menjadi momen yang penting, namun baru kali ini aku menyadari bahwa saat itulah pertama kali aku dan dirinya bercakap-cakap.

---- * ----
MENJADI TEMANNYA

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga akhirnya berganti tahun. Belum ada kemajuan perkenalanku dengan dirinya. Setelah momen di bus itu, rasanya masih biasa saja. Entah selang berapa tahun. Tepatnya menjelang aku lulus kuliah, aku baru bisa berjumpa lagi dengan gadis yang kuliah di STAIN Kudus itu. Tepatnya saat aku mendapat undangan dari IRMAS ( Ikatan Remaja Masjid). Disitulah aku berjumpa lagi dengannya. Bahkan berdiskusi dalam sebuah rapat. Namun sayangnya memang aku dan dia tetap saja belum menjalin sesuatu pertemanan yang nyata. Mungkin hanya bisa dibilang sebatas kenal saja. Bahkan saat aku cek di history chating facebook, rasanya tidak ada yang istimewa isi chating di dalamnya. Hanya serasa ada sebuah chating diriku yang memesan baju seragam dari IRMAS, itupun tidak ada balasan darinya.

Berganti bulan lagi, aku memang bukan tipikal orang yang begitu agresif untuk mendapatkan perhatian dari seseorang. Aku pun sering kali menjaga jarak dengan seseorang. Apalagi seseorang itu malah terlihat menjaga jarak denganku, maka aku semakin sungkan mendapatkan perhatiannya. Hal itu karena aku tidak ingin dianggap cari perhatian, namun malah serasa jadi sosok pengganggu saja. Ternyata hal seperti ini juga adalah sifatnya, aku baru tahu ketika sekarang ia bercerita padaku. Kembali ketika aku akhirnya dipertemukan dengannya lagi. Kali ini tidak hanya dengand dirinya, aku dan beberapa orang yang kebetulan baru lulus dari kuliah sepakat untuk sekadar sharing dan berbagi cerita. Waktu itu berempat, kebetulan hanya aku yang laki-laki. Tiga yang lainnya adalah perempuan, salah satunya adalah sosok wanita yang akhirnya aku lamar, Chusnul Chotimah. Dua lainnya adalah Farida dan Aris. Hingga dalam sharing itu kita berempat bersepakat ingin membuat sebuah Les-Lesan Privat untuk anak sekolahan. Sambil menunggu lamaran-lamaran kami diterima dalam mencari pekerjaan.

----- * -----
MENJADI REKANNYA

Les-lesan itu pun berdiri, namanya adalah Brilian. Sejak saat itulah aku dan dia menjadi sering bertemu, tak kurang dari seminggu sekali pastilah aku bertemu dengannya. Apalagi basecamp kami berkumpul seringkali di rumahnya. Mungkin mulai disinilah mulai terasa kebersamaan aku dengan dirinya, tepatnya dengan kami berempat. Aku tak berani berasumsi telah dekat dengannya, karena justru dengan Chusnul Chotimah inilah aku paling jarang bercanda tawa. Padahal dengan dua rekan les lainnya aku sangat sering bertukar sapa canda. Dirinya itu nampak begitu pendiam, misterius dan begitu cuek denganku. Jadi seperti sifat diriku, jika ada orang seperti itu maka aku pun seolah dengan sendirinya tidak ingin mendekat.

Lama Les Brilian Berjalan, murid pun semakin banyak. Teman-temanku yang lain mulai di panggil kerja, Aris di Koperasi, Farida menjadi guru, Chusnul ia memilih melanjutkan S2 di sela-sela les-lesan berjalan. Sementara aku, aku malah ingin pergi ke Papua. Waktu itu ada program guru perintis di Papua, aku pun mendaftar. Walaupun akhirnya aku tak jadi ikut seleksi di Yogya karena aku masih ragu kesana. Kami terjun di dunia kami masing-masing, aku pun sempat iri dengan Chusnul yang melanjutkan S2nya. Aku merasa bahwa diriku telah kalah dengan dirinya dalam mengejar cita-cita. Tak berselang lama aku pun bekerja di Yayasan Nadira Ummul Yatama, sebuah yayasan yang membawahi Sekolah Islam Al Azhar Pati.

Waktu bersamanya dalam les Brilian terus berlanjut, namun satu persatu personilnya mulai berkurang karena kesibukan dan urusan masing-masing. Hanya menyisakan aku dan Chusnul, disinilah aku justru merasa sangat khawatir dengan kelanjutan les Brilian. Aku sadar bahwa Chusnul itu orangnya tak bergitu respek denganku. Kurasa jika tetap berdua saja dalam les-lesan, maka ia akan menyuruh les itu dibubarkan saja pikirku. Karena ia yang tak ingin bersama dengan diriku. Aku pun selalu menjaga jarak dengannya, takut ia akan keberatan dengan keberadaanku. Dari mulai intensitas diskusi yang sangat berkurang, hingga waktu ngobrol biasanya sangat lama setelah les berakhir ketika masih berempat. Namun saat sudah hanya tinggal berdua, aku pun langsung pamit pulang. 

----- * -----
TUMBUHNYA RASA

Cinta, entah bibit-bibit cinta itu tumbuh. Padahal tak ada keakraban berarti sebelumnya. Jika dinilai, mungkin kami berdua sama-sama cueknya. Aku malah terkesan takut mendekat kepadanya. Sesuatu yang aneh juga, aku dan dia enggan sekali berchating ria via dunia maya. Terkesan begitu datar tanpa rasa apapun. Aku pun menjaga hati, agar aku tak mengharapkan dirinya. Bahkan seolah tak terpikirkan untuk bisa mendekat padanya. Aku bayangkan, aku pasti ditolak jika akan mendekati dan mencari perhatiannya. Aku pun berpikir, bahwa dirinya sudah mempunyai calon yang ia dambakan. Terlihat ketika ia tersenyum-senyum sendiri menatap HPnya. Dan aku hanya memperhatikannya dari jauh. Bodohnya aku, aku tak bertanya apakah dia sudah punya calon atau belum. Walau dalam candaan. Serasa pertanyaan-pertanyaan macam itu begitu angker bagiku untuknya. Namun membayangkanmu dinikahi orang lain, rasanya itu begitu nyesek di hati buatku. Aku sampai berpikir, jangan sampai aku jatuh hati dan mengharapkanya. Daripada aku harus patah hati melihatnya bersama orang lain.

Les Brilian, bertambah satu tentor yaitu laely. Disinilah les mulai berjalan lagi dengan tidak menyeramkan bagiku. Kini saat bertiga akhirnya kita mengobrol bersama. Lalu setelah bergantinya hari demi hari, entah sejak kapan aku dan Chusnul serasa semakin mencair batasan kecuekkannya. Mulai bisa tersenyum lepas bahkan sempat sesekali memberanikan chating. Walau mungkin hanya beberapa chat saja. Aku jadi bingung juga, sejak kapan aku dan Chusnul bisa bercanda bersama dan tertawa bareng. Walau hanya sedikit waktu saja, selama dua tahunan berlalu serasa dulu penuh batasan. Namun akhirnya seperti batu keras yang akhirnya sama-sama mencair. Walau hanya masih sebatas teman saja, namun kemajuannya begitu besar terhadap kebersamaan kami.

Hingga pada suatu hari di saat lebaran tiba, aku datang ke rumahnya. Berniat silaturrohim seperti wajarnya teman, karena memang aku belum merasakan sesuatu yang spesial di antara kami. Namun saat datang di rumahnya, ada seorang laki-laki yang terlihat begitu akrab dan nyaman bercanda dengannya. Chusnul pun terlihat begitu lepas dalam tersenyum dan tertawa, memperlihatkan riang wajahnya yang tidak bisa ditutupi. Wajah yang sebelumnya tak pernah aku lihat. Aku pun berkata pada diriku sendiri,

"Oh mungkin inilah sosok yang selama ini membuatnya tersenyum saat memegang HP. Mungkin dia adalah pacarnya."

Entah apa yang aku rasakan saat itu, padahal aku tidak ada hubungan apapun dengan dirinya. Namun rasanya aku ingin segera pulang. Lalu mencari alasan apapun agar aku bisa pulang. Serasa memang aku tak bisa menutupi rasa kecewaku yang tak beralasan. Aku pun berpikir mengapa diriku tidak suka ketika dirinya dekat dengan orang lain. Padahal diri ini belum berpikir dan belum sadar apakah aku ada rasa padanya. Perasaan seperti itu berlanjut, ketika ia aku lihat tengah dirayu atau digombali orang lain. Aku merasa begitu cemburu, diriku bergumam sendiri dalam hati. Mengapa bukan aku yang bercakap dan berani merayunya. Namun perasaan itu tetap terpendam sangat lama.

Hari berganti hari, aku dan dirinya mulai bisa bercanda dan bercakap bersama. Sungguh kemajuan yang luar biasa. Aku mulai penasaran siapa sebenarnya sosok yang ia sukai, walau aku belum berani bertanya. Alasannya sederhana, aku takut jatuh cinta padanya. Aku serasa ingin menghindari perasaan itu padanya. Aku takut karena kemungkinan besarnya yang kupikirkan adalah pasti aku akan patah hati. Aku bukanlah tipenya, ku bukan standar pilihannya, aku bukanlah siapa-siapa. Seperti itulah pikiran-pikiran yang membuatku tetap menjaga jarak.

Perasaan memang tak bisa dibohongi, seolah diriku tanpa sadar selalu berusaha maju untuk mendekat. Walau sering kali harus mundur lagi saat tak mendapatkan respon. Lalu maju lagi, entah itu berapa kali. Hingga akhirnya kami mulai akrab, entah sejak kapan keakraban itu terjalin. Bisa jadi karena anak-anak les yang sering menjodoh-jodohkan kami. Padahal mereka hanyalah anak-anak. Anak-anak les sering menuliskan nama kami berdua bersama. Pikirku, dasar anak-anak mengapa tidak ada kerjaan lain selain itu. Aku justru takut jika dirinya menjadi kesal terhadapku karena tingkah laku anak-anak itu. Karena pastinya seorang akan merasa sebal jika ia dijodoh-jodohkan dengan orang yang tidak ia suka. Namun dirinya tetap datar-datar saja, aku pun mengikuti kedatarannya.

Ceritaku, Dari Mengharapkanmu Hingga Memberanikan Diri Melamarmu

----- * -----
RASA CINTA ITU PUN HARUS DIAKUI

Keakraban dan kebersamaan memang tumbuh perlahan hingga tak menyadari pertambahannya. Semenjak ada tentor baru bernama Laely itu, serasa mulai itulah aku dan Chusnul semakin dekat. Padahal Laely tak pernah sekalipun menjomblangkan atau menjodoh-jodohkan kami. Namun berkat keberadaannya serasa menjadi sosok yang bisa mengurangi rasa sungkan kami dalam bercanda bersama. 

Suatu hari, aku pun sudah tak lagi merasa penasaran dengan perasaanku sendiri. Aku mengakui bahwa memang ada rasa ketertarikan pada Chusnul. Namun sering kali aku harus merasa sedih, serasa hal itu tak mungkin bersambut. Sedih rasanya membayangkan itu. Padahal kami semakin akrab, semakin lepas dalam berbalas senyum. Hingga suatu hari kuberanikan diri menanyakan kepadanya,

"Mbak Chusnul, apakah sudah menjalin hubungan dengan seseorang?"

Aku memang memanggilnya pada saat itu dengan panggilan Mbak. Suatu bentuk penghormatan tersendiri atas dirinya. Namun sayangnya pertanyaan itu ia jawab dengan candan, hingga aku semakin penasaran. Namun ia akhirnya menjawab dengan ekspresi bahagia. Entah mengapa dia terlihat santai dan senang mendengar pertanyaanku itu. Mungkin dia telah menebak-nebak perasaanku. Bisa jadi dia sudah tahu bahwa diriku mengharapkannya. Dia pun menjawab bahwa dia sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Dengan jawaban itu, rasanya aku punya jalan yang sangat lebar untuk mendekatinya. Rasanya aku senang sekali, walau belum mengatakan perasaanku. Aneh memang.

Suatu hari, ia memintaku mengajari cara membuat gambar animasi yang bisa bergerak. Aku pun menyutujuinya, mengajarinya dengan seksama setahap demi setahap. Namun ada hal menarik yang membuatku bahagia. Dia, terlihat begitu grogi ketika aku ajari. Dengan ini, aku pun bisa memastikan bahwa dirinya memang juga menaruh suatu rasa yang sama padaku. Karena kegrogian itu bisa jadi menandakan tanda alami dari seseorang tentang adanya perasaan istimewa. Aku merasa semakin maju saja dalam usahaku bisa mengusahakan hatinya.

Tak aku sangka pada suatu hari, justru ia yang bertanya padaku. 

"Mas Agus, sebenarnya dirimu ada rasa denganku kan?"

Seketika dunia berhenti sejenak, aku merasa deg. Dia sudah menebak perasaanku, itu bukan lagi sebuah pertanyaan. Tentu seorang perempuan dewasa tidak akan mudah bertanya seperti itu. Aku merasa gugup dan bingung, bagaimana aku harus menjawabnya. Lalu aku pun beranikan diri untuk menjawab.

"Sebenarnya memang iya."

"Dugaanku memang benar." candanya merespon jawabanku.

Aku pun balik bertanya, apakah dia juga merasakan hal yang sama. Alhamdulillah, ia juga mengatakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.

Sejak peristiwa ditanyai olehnya itu, ia sering mencandaiku.

"Kalau nggak aku tanyai perasaanmu itu, mungkin kamu belum berani-berani mengungkapkan perasaanmu Mas. Lama!!!"

Aku begitu tersindir dan malu, karena dia dulu yang bertanya bukan aku. Namun sebenarnya aku telah berpikir, aku harus berpikir tidak hanya tentang ungkap mengungkap perasaan. Aku ingin ujungnya bukan sekadar pacar-pacaran, aku ingin menikah dengan dirinya. Itulah harapan besarnya. Sejak kami saling tahu bahwa saling berharap. Dia mulai bercerita tentang perasaannya pula, dimana ia juga penasaran dengan diriku. Ternyata dia juga memendam perasaan yang sama. Namun selalu menungguku yang memberikan tanda-tandanya dahulu. Dia juga tak ingin salah berharap. Ternyata ada dua orang yang saling berharap, yang saling diam dan tertutup. Sejak saat itu aku beranikan diri memanggilnya "Dek". Hingga kami semakin akrab, walau tak ada acara mesra-mesraan atau pacar-pacaran. Karena sudah saling tahu bahwa saling berharap itu sudah sangat membahagiakan kala itu.

-----*-----
IA AKAN DILAMAR ORANG LAIN  

Seperti baru saja aku merasa bahagia, namun aku mendapat kabar darinya. Kabar yang membuatku tersentak sedih. Ia bercerita akan ada seorang laik-laki yang berniat melamarnya. Seorang laki-laki yang sudah mapan, dari keluarga terpandang. Rasanya sedih, sakit, seolah memukulku mundur dan menepis semua harapanku tentangnya. Namun tak berselang lama, ia melanjutkan ceritanya bahwa dia menolaknya. Orang tuanya juga merasa kurang setuju dengan laki-laki itu. Aku tetap merasa sedih, serasa menjadi tantangan besar bagiku untuk tak menyerah. Aku memang pernah menawarinya untuk segera aku datang untuk meminta restu, namun dia menolak karena ingin menyelesaikan S2nya dahulu.

Semenjak itu ia pun seperti memikirkan hal yang sama pula. Bisa jadi di lain kesempatan, akan ada lebih banyak laki-laki yang akan datang berniat melamarnya. Ia mulai memikirkan permintaanku yang dahulu. Ada niat, disitulah ada keajaiban datang menurutku. Dek Chusnul ditanyai orang tuanya, ia bercerita ditanya macam-macam oleh orang tuanya. Jika ia telah menolak pinangan orang lain, berarti mungkin saja ada sosok lelaki yang sudah ia harapkan. Lalu ia bercerita padaku, dia bercerita bahwa sosok lelaki yang ia harapkan itu adalah aku.

----- * -----
MEMBERANIKAN DIRI MELAMARNYA

Ketika orang tuanya sudah mengetahui bahwa aku adalah lelaki yang diharapkan oleh Dek Chusnul. Aku pun diminta untuk menemui orang tuanya, dengan senang hati aku pun mendatanginya. Seolah nantinya pastinya aku akan diwawancarai dengan berbagai pertanyaan dan alasan. Namun anehnya aku pada saat itu, aku justru yang merasa harus mengungkapkan perasaanku dulu dihadapan orang tua mereka. Kami berkumpul bersama, aku, dek Chusnul dan kedua orang tuanya. Terlihat orang tua mereka sudah siap bertanya padaku. Rasanya malam itu, hatiku begitu deg-degan. Grogi luar biasa, lebih grogi daripada ujian skripsi dihadapan para dosen. Karena malam itu aku akan menentukan nasib perasaanku dan harapanku untuk memiliki seseorang.  

Nafas-nafas panjang terhela dariku, dudukku agak gelisah. Hingga sebelum mereka bertanya-tanya padaku. Aku justru mengawali pembicaraan serius itu. Aku memulai dengan yakin, aku berkata jujur kepada kedua orang tua mereka bahwa aku ingin menjadikan Dek Chusnul sebagai istriku. Dek Chusnul merasa kaget, ternyata aku seberani itu. Padahal malam itu harusnya aku yang ditanya-tanya. Dia nampak grogi dan deg-degan pula. Menanti jawaban orang tuanya. Jika diterima, maka bahagialah rasanya kami berdua. Jika nanti ditolak, maka serasa cukup sudah harapanku dan harapannya bisa bersatu.

Kemungkinan diterima dan ditolak pun sama besar. Bisa diterima, menurut Dek Chusnul aku adalah lelaki yang paling dikenal oleh keluarganya. Hal itu tidak dimiliki lelaki lain yang coba mendekatinya. Karena memang hampir setiap hari berjumpa dengan orang tuanya. Karena les Brilian memang bergandengan dengan rumah utama orang tuanya. Di lain sisi, kemungkinan ditolak pun sangat besar. Hal itu karena aku hanyalah lelaki biasa saja yang belum mapan kerja, baru saja lulus dan mendapatkan pekerjaan. Belum lagi aku dari keluarga sederhana yang bisa dibilang tidak punya apa-apa. 

Malam itu aku tidak begitu memikirkan akan diterima atau ditolak, terpenting aku sudah berani meminta restu kepada orang tuanya. Daripada aku harus mencintainya secara diam-diam. Lebih baik aku ditolak dan tahu pasti akan kelanjutan cintaku, daripada aku bersembunyi dalam mencintai anak mereka. Orang tua mereka pun menjawab dengan langsung ke intinya,

"Jika memang seperti itu, bawalah orang tuamu kesini untuk melamar anakku."

Rasanya aku bahagia sekali mendengar jawaban seperti itu, rasanya lepas dan bahagia sekali. Alhamdulillah, sebuah nikmat besar yang Allah berikan padaku. Aku mendapat lampu hijau dari orang tuanya dan juga Dek Chusnul. Terlihat orang tuanya pun penuh senyum kepadaku. Malam itu kami pun mulai membahas hal-hal lain terkait diriku dan dek Chusnul. Sebuah bahasan dimana aku tak terpikirkan kesana.

Bahasan yang menarik adalah salah satunya adalah tentang Weton. Suatu hitung-hitungan hari baik menurut falsafah jawa tentang perjodohan. Hari lahirku dan hari lahir Dek Chusnul dibahas disana. Orang tua mereka berpesan, jika sepengetahuan mereka bahwa antara hari lahirku dan hari lahir Dek Chusnul tidak ada masalah. Namun aku diminta untuk bertanya kepada orang tuaku juga, apakah hari lahir kami sudah baik atau harus seperti apa. Aku pun nurut saja, aku sudah terlarut dalam kebahagiaan. Terpenting sudah  mendapat restu dari mereka dahulu. Urusan weton maka pikirku insya'allah akan dimudahkan. Jika orang tua sudah ridho maka Allah pun akan Ridho. 

Alhamdulillah, menurut orang tuaku pun tidak ada masalah dengan hari weton kami berdua. Orang tuaku memina agar Dek Chusnul bisa aku bawa kehadapan mereka sebelum diselenggarakan acara pertunangan. Aku pun mengajaknya datang ke rumahku yang sederhana. Dek Chusnul nampak grogi pula, aku pikir ia akan menjadi seperti diriku yang penuh kegrogian kala akan memnita restu kepada orang tuanya. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, orang tuaku justru sering mengajaknya bercanda ketika bertanya. Dia pun tersenyum padaku, bahwa ketika mengahadap orang tuaku. Dia justru sangat bahagia.

------ * ------
 MELAMAR SOSOK PUJAAN HATI

Hari yang telah disepakati bersama pun datang, 8 September 2016. Tepat di hari kamis. Aku dan sekeluargaku datang untuk melamar wanita pujaan hatiku, Dek Chusnul Chotimah. Sebelum acara, aku kabari kakak-kakaku, bahwa aku akan melamar seseorang. Mereke pun menyetujuinya. 
Dari pagi di rumahku sudah banyak sekali tetanggaku. Aku tidak mengira bahwa akan ada banyak orang di rumahku pagi itu. Aku yang saati itu izin tidak berangkat kerja, bisa mengetahui banyak aktifitas di rumahku. Semuanya nampak mempersiapkan bingkisan-bingkisan untuk acara nanti malam. Banyak keluargaku yang menyiapkan berbagai bingkisan-bingkisan. Hingga nampaklah bertumpuk-tumpuk tak sebelumnya terbayangkan olehku. Mungkin ini karena jumlah keluargaku yang banyak, dan juga orang tuaku yang sering aktif di lingkungan masyarakat. Jadi banyak orang yang dengan senang hati membantu acara itu.

Rasanya seperti akan melangsungkan pernikahan saja, banyak parcel dan bingkisan yang berjejer rapi. Aku merasa istimewa di hari itu. Rasanya ingin segera menikah saja. Biar tambah bahagia. Namun menurut adat Jawa di desaku, tidak semudah itu jika ingin menikah. Harus ada hari baik yang akan diperhitungkan dengan matang. Aku pun menghargai itu semua, insya'allah pasti ada hikmahnya.

Malam pun tiba, aku dan rombongan datang ke rumah Dek Chusnul. Terlihat banyak orang pula yang menyambut kami. Selanjutnya, semuanya saling beramah tamah di dalam rumah. Para orang tua saling bercakap dan berserah terima akan niatan kami yang melamar Dek Chusnul olehku. Selang beberapa waktu, Dek Chusnul pun keluar dengan anggunnya. Wanita berkerudung itu nampak riang dibalik harunya, ia menyalami setiap rombongan kami. Satu persatu, hingga ia mulai dikenalkan dengan anggota keluargaku. Hingga di tengah sesi, akhirnya aku bisa melingkarkan sebuah cincin emas di jari manisnya. Sebagai simbol ikatan pertunangan kami menuju hari pernikahan selanjutnya.

----- * ------
MENGHITUNG HARI, MENANTI HARI PERNIKAHAN

Melamar, salah satu tahapan penting dari sebuah hubungan. Jika tak kunjung melamar, niscaya sebuah kepastian hubungan cinta akan tergantung begitu saja. Kita yang ingin memperjuangkan seseorang, maka melamarnya adalah salah satu tahapan penting yang harus segera diusahakan. Dimana kita tidak menggantungkan dan tidak memPHPkan perasaan seseorang. Tentu kita tidak ingin berlama-lama dalam mendiamkan perasaaan. Apalagi malah berlama-lama dalam berpacaran tanpa kejelasan.
Lanjut dengan ceritaku, kali ini tentang hari baik pernikahan. Setelah bertungan dengan Dek Chusnul. Aku merasa bahwa sebentar lagi bisa menikah dengannya. Namun ternyata tidak seperti demikian, para orang tua mulai memikirkan harinya. Hari pernikahan ditentukan dengan cermat dan teliti, berdasarkan adat yang kami punya. Aku dan Dek Chusnul yang ingin segera menikah, ternyata harus menunggu hingga sampai bulan Maret tahun 2018. Bukan tanpa alasan, karena memang dari perhitungan yang para orang tua kami lakukan. Maka hari itu adalah hari yang dipercaya terbaik bagi kami. Lama memang kami harus menunggu, ini bukan tentang klenik atau percaya dengan animisme dan dinamisme. Aku dan dia menghargai adat yang sudah kami pegang teguh di daerah, ini juga merupakan satu kebudayaan. Sebuah falsafah kebudayaan yang sudah turun temurun, menghitung weton di hari pernikahan. 

Ternyata memang ada hikmahnya pula, padahal dahulu aku dan Dek Chusnul mungkin hanya sekadar ingin menghormati dan menghargai keputusan para orang tua saja. Di maret tahun 2018 nanti insya'allah memang masih beberapa bulan lagi. Namun sekarang Dek Chunusl Alhamdulillah sudah lulus S2nya, jadi saat menikah nanti ia tak lagi tersibukkan dengan dunia kuliahnya yang penuh tugas. Sementara aku Alhamdulillah punya kesibukan baru, semenjak mempersiapkan hari pernikahan itu aku lebih menekuni dunia nulisku yang pernah terkesampingkan saat bekerja. Ternyata waktu menunggu ini, mampu membuat hobiku justru menghasilkan penghasilan yang tidak terduga. Jadi insya'Allah pas bulan Maret 2018 nanti kami berdua memang sudah siap menjadi sepasang suami istri. Amiiin. Siap secara mental, secara ekonomi dan secara penyatuan tujuan untuk bahagia.

Hemmm panjang juga ceritanya, entah berapa lama waktu yang dihabiskan untuk membaca ceritaku ini. Semoga dapat menghibur dan memberikan manfaat tersendiri bagi yang membacanya. Jika ada sobat yang baper membacanya, bisa jadi memang memberikan gambaran bahwa betapa unik dan indahnya cinta itu. Tak lain di akhir cerita ini, aku mengharap dari para pembaca untuk turut mendoakan. Semoga niatan diriku menikah dengan Dek Chusnul di Bulan Maret 2018 nanti bisa berjalan dengan lancar dan barokah. Amiiiin.

----- * -----
 



0 Response to "Ceritaku, Dari Mengharapkanmu Hingga Memberanikan Diri Melamarmu"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.