UPACARA, KEWAJIBAN ATAU KESADARAN ??? - Catatan Sang Bidikmisi ke -14


Ilustrasi : yuliwitanto.files.wordpress.com

Upacara merupakan suatu hal yang sudah kita kenal dari dulu kala. Saat kita SD, SMP dan SMA tepatnya pasti setiap hari senin kita tak lepas dari namanya upacara. Berdiri sekitar satu jam untuk melihat menyaksikan sang saka merah putih naik tiang dan berkibar.

Kini kita telah beranjak di masa perguruan tinggi, di Universitas Negeri Semarang tepatnya. Dimana suasananya sangat beda dengan saat-sat masa sekolah dulu di SD, SMP maupun di SMA. Salah satunya tidak ada yang namanya upacara tiap hari senin bagi mahasiswa. Tetapi tetap ada upacara-upacara khusus pada hari-hari tertentu untuk dilaksanakan. Seperti upacara 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan, upacara 28 Oktober saat peringatan sumpah pemuda, dan 5 Mei untuk memperingati hari pendidikan nasional dan beberapa yang lain. Upacara tersebut tidak dikuti oleh seluruh mahasiswa se-Unnes, hanya dilakukan atau diwajibkan bagi penerima beasiswa. Kenapa seperti itu, menurutku karena jika upacara itu diwajibkan untuk semua mahasiswanya. Maka niscaya lapangan kampusku tidak akan muat menampung peserta upacara. Bayangkan saja sekitar 25.000 lebih mahasiswa Unnes melakuakn upacara bersama, tentu suasananya akan seperti kekacauan yang sangat crowded. Mungkin jika hal itu dilaksanakan malahan bisa memecahkan rekor MURI sebagai upacara yang memiliki peserta upacara terbanyak di Indonesia dalam satu kampus. Jika dilaksanakan seperti itu mungkin pelaksanaanya akan dibagi menjadi beberapa tempat, di lapangan rektorat seribu peserta, FIK berapa ribu mahasiswa, di lapangan FE seribu, dan lapangan-lapangan lain di Unnes dibagi hingga bisa nampung semuanya. Dengan system upacaranya adalah teleconference. Seru juga jika ada upacara seperti itu dengan teleconference, nanti setiap pos upacara diberi satu komandan upacara. Tetapi aku rasa itu tidak akan dilaksanakan, selain banyak tenaga yang dibutuhkan pasti biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Biaya teleconference, biaya untuk merawat peserta yang pingsan, biaya cetak presensi dan biaya kebersihan. Lho kok ada biaya kebersihan juga? ya tentu ada. Hal itu dikarenakan biasanya juga banyak peserta upacara yang suka membuang sampah sembarangan saat upacara, seperti tisu untuk lap keringat, botol minuman untuk menghilangkan haus, bungkus permen yang dimakan dengan alasan supaya tidak ngantuk, dan lain-lain. Itulah mungkin alasan yang pertama, maka memang sewajarya yang diwajibkan untuk upacara itu tidak semuanya.

Alasan yang kedua, penerima beasiswa itu adalah orang-orang pilihan yang diseleksi secara ketat untuk bisa menerima bantuan baik berupa uang atau tidak selama periode beasiswa yang telah ditentukan. Setelah menjadi penerima beasiswa itu tentu mereka telah mendapat uang, pembinaan dan lain-lain. Ya karena itu sudah sepantasnyalah untuk hanya diwajibkan upacara sudah tidak mau. Padahal sudah diberikan anugerah berupa bantuan untuk kuliah dengan nominal yang cukup banyak mereka tidak mau. Tapi untuk alas an yang kedua ini ternyata sedikit banyak ada yang kurang setuju. Kenapa sih harus penerima beasiswa ? kenapa sih ada upacara terus? kenapa sih? kenapa sih?. Hal itulah pertanyaan yang selalu terdengar jika memang tidak ada kesadaran dari diri sendiri. Sadar bahwa penerima beasiswa itu ya harus beri umpan balik donk. Kurasa upacara juga bukan suatu yang merugikan secara umumnya. Belum ada aku dengar ada kabar.

“Telah diikabarkan bahwa mahasiswa bernama Joko telah sakit tujuh hari tujuh malam setelah mengikuti upacara Hardiknas di lapangan FIK”

Atau ada berita seperti ini,

“Telah diberitakan bahwa mahasiswa bernama Prasetyo IP-nya langsung jatuh dari yang semula 3,5 tetapi setelah upacara hari sumpah pemuda IP-nya anjlok menjadi 2,5”.

Hehehe, kurasa yang seperti itu sangat kemungkinan kecil terjadi. Yang sering terjadi itu adalah saat upacara berlangsung itu pas tumbukan dengan kuliah, wah jika seperti ini pasti masih banyak penerima beasiswa yang kebingungan.

“Gimana ni, upacara nggak ya? atau aduh kuliah aja deh, dosennya Killer. Aduuuh tapi kalau nggak upacara gimana ya? nanti beasiswaku dicabut gimana?”.

Seharusnya jika seperti itu terjadi, janganlah sepanik itu deh.  Hal itu karena yang diwajibkan upacara itu juga dosen-dosenya juga. Jadi tidak perlu pusing-pusing sekali memikirkan jika ada seperti itu. Tetapi susahnya jika ada dosen yang tidak ikut upacara, tetapi tetap menngajar.  Hal itu yang akan menjadikan penerima beasiswa itu pusing tujuh keliling.

Lucunya pada saat upacara berlangsung, masih ada saja mahasiswa yang nitip absen. Aduh ini anak apa tidak malu pada dirinya sendiri ya, ini sama saja menipu dirinya sendiri dan tak tahu malu. Kalau memang tidak mau datang ya jangan nitip absen. Main presensi saja main palsu-palsuan, dititipkan temen lagi.  Hal itulah yang menjadi buruknya sistem yang diperbudak oleh presensi, “Yang penting adalah presensi” itulah slogan yang sangat tragis. Jika seperti itu terjadi terus menerus, lama kelamaan bangsa kita terkenal bangsa presensi dong. Lucu sekali jika dimasa depan nanti kita menjadi bangsa presensi, saat kuliah contohnya mahasiswa datang, lanjut terus presensi lalu langsung pulang. Saat ditanya ya jawbnya “Yang penting ya presesnsi donk” serasa seolah tidak penting masuk atau tidaknya. Jika seperti itu mungkin jika pas waktunya dia meninggal dunia, ketika mau dikubur. Setelah dicatat oleh petugas pemakaman ketika mayatnya siap dimasukan kedalam liang kubur, lalu mayatnya tidak jadi dimasukan, langsung pergi saja pegawai makam itu. Sampai-sampai mayatnya itu bingung, dan bangkit hidup lagi dan bertanya.

“Maaf pak maaf pak, saya kok langsung ditinggal begitu saja. Saya mau masuk liang kubur ini. Sudah capek pengen berbaring di dalam”.

Dengan tenang pak petugas menjawab, “Ah nggak papa pak nggak masuk. Masuk atau nggak itu nggak penting, yang penting dibuku catatan pemakaman ini bapak sudah saya presensikan”. Hahaha, semoga hal seperti itu nggak terjadi. 

Sebagai penerima beasiswa, sudah sepantasnya kita harus sadar dengan sepenuh hati. Bahwa kita disini sudah merupakan anugerah yang luar biasa bisa duduk mendapat beasiswa untuk kuliah. Mungkin jika kita bisa bayangkan, betapa banyak pemuda diluar sana yang membanting tulang hanya demi sesuap nasi hingga mereka tak berfikir untuk kuliah. Atau mereka yang disana bekerja keras penuh keringat, mengamen dijalan, jualan koran di jalan-jalan yang mereka bekerja karena tak punya banyak uang hanya untuk bisa belajar seperti kita. Terus apa yang kita perbuat? apakah kita yang hanya diminta untuk upacara saja sudah tidak mau. Padahal uang yang kita terima dari beasiswa kita itu sama-sama uang dari rakyat. Jika kita seperti itu saja disuruh upacara tidak mau mungkin lebih baik uang yang kita terima itu lebih pas diberikan kepada orang-orang yang tak mampu diluar sana untuk bisa makan daripada diberikan untuk kita.

Bukan beasiswa itu kegiatan utamanya adalah upacara, tapi upacara itu menurutku adalah sebuah hal kecil yang tak buruk jika kita laksanakan sebagai penerima beasiswa. Jika hal kecil itu bisa kita lakukan dengan penuh kesadaran. Maka hal-hal besar kewajiban kita sebagai penerima beasiswa akan coba kita wujudkan sebagai rasa terima kasih kita kepada negara ini. Kewajiban membangun bangsa, kewajiban melakukan perubahan perbaikan Indonesia dan kewajiban-kewajiban yang lain lagi yang bisa kita lakukan. Itulah tugas mulia kita, mari kita laksanakan hal-hal yang kecil seperti upacara itu kita laksanakan dengan ikhlas. Jika hal kecil itu sulit kita laksanakan dengan ikhlas, apalagi hal-hal besar yang wajib kita lakukan. Niscaya lebih sulit lagi.

UNTAIAN HIKMAH 

Pertama, hidup ini bukan seberapa besar kita meminta dan mau menerima pemberian orang lain. Tetapi lebih baik diartikan sebagai seberapa besar kita mau mensyukuri sekecil apapun yang telah kita peroleh. Sesedikit apapun yang kita terima, tentu kita harus bisa berterima kasih karenanya. Sekecil apapun yang bisa kita lakukan, tentu merupakan bentuk penghargaan kita dari pemberian itu.

Kedua, seringkali kita terlalu meremehkan kewajiban-kewajiban kecil. Menganggapny bahwa itu tak terlalu berarti jika tak dilakukan. Padahal semua hal besar berawal dari suatu yang kecil. Selayaknya kita bisa memaknai bahwa hal-hal kecil itulah yang kan menjadikan suatu yang besar.

Ketiga, Kita memang mempunyai hidup yang berbeda satu sama lain. Kita tak bisa selalu membandingkan diri kita dengan orang lain, begitu pun dengan kewajiban dan hal yang harus kita lakukan seseuai kondisi dan porsi kita masing-masing.

Keempat, jika kita terlalu memikirkan sisi tidak enak dari suatu hal. Maka kita justru enggan sekali melakukannya. Sebaliknya, jika kita bisa memikirkan segi positif dari suatu hal. Niscaya ada semangat untuk melakukan hal tersebut.

0 Response to "UPACARA, KEWAJIBAN ATAU KESADARAN ??? - Catatan Sang Bidikmisi ke -14"

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari Blog Mas Agus JP Melalui Email Anda.